INFO-PEMBEBASAN
Diterbitkan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Jl. Utan Kayu No. 17 A, Jakarta
Homepage: http://www.peg.apc.org/~prdint1
ISLAM DEMOKRAT ADALAH ANCAMAN TERBESAR MILITER SAAT INI
Kekuatan Islam pro-demokrasi atau Islam Demokrat semakin mengancam posisi politik militer. Bagi tentara, saat ini, justru kekuatan ini yang paling membahayakan sebab kekuatan ini mayoritas dari segi jumlah dan konsistensinya menentang militerisme. Kekuatan Islam Demokrat ini tergabung dalam berbagai kelompok yang sejak dahulu bersikap cukup radikal. Mereka antara lain adalah warga NU/PKB, kaum Muslim di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, himpunan mahasiswa seperti HMI, PMII, PII, serta kelompok Islam radikal. Dan, masih banyak kelompok lain.
Pembantaian para kiai dan guru mengaji di beberapa wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan kedok "dukun santet" terbukti merupakan operasi sistematis untuk menghancurkan kekuatan Islam karena semakin nampak bahwa kekuatan ini merupakan kekuatan demokratisasi yang tidak saja besar jumlahnya, namun juga terorganisir.
Bahwa Islam merupakan kekuatan demokrasi di Indonesia --dan negara-negara lain-- sudah terbukti. Pergerakan Islam sejak melawan kolonialisme hingga kediktatoran Soeharto dan kekejaman ABRI adalah fakta sejarah yang membenarkan tesis ini. Adanya bahaya "fundamentalisme Islam" di Indonesia selalu dijadikan legitimasi tentara untuk membabat dengan tuduhan "ekstrim kanan" atau hendak mendirikan negara Islam, atau hendak mengubah Pancasila. Sesungguhnya ini hanyalah propaganda hitam yang dijadikan legitimasi tentara untuk memukul potensi demokratisasi. Tidak pernah ada bukti bahwa kekuatan Islam Demokrat hendak mengganti Pancasila, atau mendirikan Negara Islam, ataupun akan menindas agama lain. Ini hanya merupakan rekayasa membangun histeria untuk menimbulkan perasaan phobia masyarakat. Kaum Islam Demokrat adalah mereka yang sangat memegang teguh ajaran toleransi seperti diajarkan di dalam Al Qur'an dan Sunnah Nabi : selalu meyakini bahwa Islam adalah rahmatul lil 'alamin (atau rahmat bagi seluruh alam).
Kelompok jenderal yang menggunakan identitas Islam, seperti Syarwan Hamid, Hartono, Feisal Tanjung, Syafrie Syamsuddin, maupun Prabowo, yang sering dijuluki "Faksi Hijau Militer" atau "Militer Hijau" telah membuat kesan bahwa Islam anti-demokrasi. Memang kelompok ini beraliansi dengan beberapa kelompok Islam, yang dari segi jumlah sangat kecil, seperti KISDI dan ICMI. Aliansi ini secara sistematis menteror gerakan demokrasi dan kelompok serta tokoh pro-demokrasi. Dengan demikian muncul kesan yang kuat bahwa Islam merupakan bahaya bagi demokrasi. Tentara berkali-kali memprovokasi kerusuhan SARA di berbagai tempat yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, seperti Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok, dan lain-lain. Kemarahan rakyat yang tak terpimpin tanggal 13-15 Mei lalu telah dimanfaatkan tentara untuk menyerang etnis Tionghoa sehingga muncul kesan bahwa umat Islam lah yang melakukan itu. Apalagi ini ditambah dengan statemen beberapa politisi dari ICMI dan KISDI yang rasialis.
Analisis menganai "ABRI Hijau" dan "Islam dan Militer" dalam perpolitikan di Indonesia dewasa ini adalah sangat kabur mengingat kelompok militer yang sering disebut sebagai "Faksi Hijau" bukanlah benar-benar Islami. Mereka tidak bertindak atas dasar prinsip ke-Islam-an, namun tetap bertindak atas dasar doktrin militer. Dengan demikian, penggunaan label "hijau" sebenarnya tidak tepat. Begitu pula, sebaliknya, label "merah-putih" terhadap kelompok militer lainnya. Mereka juga tidak bertindak atas dasar paham nasionalisme melainkan atas dasar doktrin militer. Bahkan istilah "faksi" atau "perpecahan" di antara keduanya pun tidak benar karena mereka memang masih dalam satu komando dan satu doktrin/paham. Yang ada adalah persaingan karir di antara para jenderal tersebut. Lebih jauh, karena dua kelompok ini selalu mempunyai konflik kepentingan, analisis adanya faksi "Hijau" vs "Merah-Putih" dalam ABRI telah membuat kesan seolah kini sedang terjadi konflik yang tajam di antara mereka.
Tentara semakin terancam oleh bahaya Islam Demokrat sebab berbagai kelompok atau organisasi politik Islam tetap konsisten melawan otoritarianisme. Kaum Muslim Tanjung Priok tetap menuntut keadilan bagi saudara mereka yang dibantai militer. Kaum Muslim di Lampung juga demikian. Kaum Muslim di Aceh bukan saja menuntut atas pembantaian saudara mereka, namun juga memprotes penerapan daerahnya sebagai DOM (Daerah Operasi Militer), yang telah memakan banyak korban. Selain itu, sampai saat ini kelompok Islam Demokrat terus menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan menuntut Habibie mundur.
Tindakan militer dan kekuatan-kekuatan sipil anti-demokrasi akhir-akhir menggunakan bebarapa pola untuk menghancurkan kekuatan pro-demokrasi, antara lain :
- Memukul kekuatan Islam demokrat, yang ditandai dengan pembantaian para kiai dan guru mengaji tersebut.
- Memukul kelompok demokrasi non-Islam seperti Kontras, Forkot, SBSI, Tim Relawan, dan sebagainya, dengan mengadunya dengan umat Islam.
Apakah pola ini akan berhasil ? Nampaknya tidak, sebab, pertama, umat Islam di Indonesia sudah mempunayi pengalaman pahit dengan tentara. Bahkan hingga kini kasusnya belum tuntas. Kedua, rakyat semakin tahu bahwa teror terhadap Tim Relawan, PRD, Kontras, Forkot serta pembantaian dengan kedok "dukun santet" tersebut semua adalah dilakukan oleh militer.***